Antara Jilbab dan Cita - Cita


 Oleh Budi Setiawan

Penggunaan Jilbab untuk siswi di sekolah menjadi sebuah perhatian yang cukup serius, karena banyak sekolah yang notabenenya adalah sekolah negeri mewajibkan hal tersebut, dan itu hanya berlaku untuk siswi yang muslim, tidak untuk yang bukan muslim. Perlu dianalisa bersama mengapa banyak sekolah menerapkan kebijakan mengenai kewajiban berjilbab bagi siswi muslim? Padahal sekolah negeri harusnya melonggarkan aturan mengenai hal tersebut.

Baru - baru ini penulis membaca sebuah berita tentang seorang siswsi di SMAN 1 Banguntapan Bangkul menangis hingga frustasi karena dipaksa menggunakan jilbab oleh gurunya. Hal ini akan mengarahkan perhatian kita tentang bagaimana aturan yang baik di sekolah yang jumawa diterima oleh masyarakat sebagai objek dari pendidikan.  Jadi mari sejenak kita bersama sama memikirkan apakah hal tersebut make sense untuk diterima atau tidak.

Tidak terbantahkan lagi bahwa indonesia adalah salah satu negara degan jumlah penduduk terbanyak di dunia menurut data Worldmaters 2020 mencatat bahwa indonesia berada pada posisi ke 4 setelah Cina, India dan Amerika Serikat, sekaligus merupakan negara dengan mayoritas penduduk adalah muslim, sehingga indonesia menjadi negara dengan umat muslim terbanyak di dunia. Mungkin karena hal tersebut bisa menjadi salah satu alasan dasar penerapan kebijakan mengenai keharusan untuk menggunakan jilbab di sekolah.

Perlu juga kita pikirkan bahwa dengan banyaknya penduduk di indonesia tentu akan memiliki potensi keberagaman yang tinggi. Indonesia memiliki ribuan pulau, terdapat banyak suku budaya, dengan ratusan bahasa dan beberapa agama yang berbeda. Itu bukanlah sebuah kelemahan tapi merupakan sebuah keistimewaan bagi indonesia yang ternyata diakui oleh negara lain karena dengan beragam perbedaan indonesia bisa mempertahankan eksistensinya sebagai negara yang damai, dan tentram. Meskipun tak jarang kita temukan karena perbedaan itu juga dapat memicu kegaduhan ataupun kericuhan, apakah itu muncul pure karena perbedaan atau terjadi karena kepentingan beberapa orang yang memanfaatkan perbedaan yang ada. Itu sedikit argument menurut kaca mata subjektivitas penulis.

Karena keberagaman tersebut, kita tentunya tidak menonjolkan ego idnetitas seperti agama berupa aturan mewajibkan jilbab di sekolah. Bahwa kita hidup merdeka baik dalam berpikir maupun bertindak selagi masih dalam koridor aturan yang berlaku. Sebagai sekolah negeri harusnya membuat kebijakan ataupun aturan yang bisa di jangkau oleh seluruh anak-anak di negeri ini. Mengedepankan toleransi dan percaya bahwa mereka punya agama, suku, budaya, karakter, ataupun tingkah laku yang berbeda - beda. Janganlah kemudian kita membatasi hak mereka untuk mendapatkan pendidikan karena mereka berbeda, tidak mau atau belum siap menggunakan jilbab.

Selain dari konteks identitas di atas, penulis juga berpikir tentang pola pendidik atau dalam hal ini guru yang mendidik peserta didiknya. Menurut penulis agar pendidikan bisa tercapai dengan baik, keterlibatan elemen - elemen pendukung haruslah memberikan dukungan good support kepada peserta didiknya. Mulai dari tingkat relevansi kurikulum terhadap zaman yang berlaku, kenyamanan sekolah dengan sarana dan prasarana yang baik, serta keramahan atau cinta kasih guru atau pendidik yang memiliki dasar kompetensi kepribadian dalam mendidik, itu sangat diperlukan.

Guru sebagai aktor penting dalam ketercapaian pendidikan selain membimbing, membina, dan memberikan kepercayaan kepada peserta didik, guru seharusnya juga bisa menjadi teman atau sahabat peserta didik agar bisa memunculkan motivasi belajar kepada peserta didik agar peserta didik bisa terdorong dan semangat dalam belajar. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Sardiman, 2011 dalam bukunya dengan judul Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar bahwa motivasi belajar adalah daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar dapat tercapai.

Oleh karena itu hal - hal positif yang mampu meningkatkan motivasi peserta didik perlu diperhatikan dengan menggunakan metode yang sesuai agar peserta didik bisa termotivasi atau semangat saat belajar, merasakan kenyamanan, dan kebahagiaan dalam mengenyam pendidikan. Adapun hal-hal yang dapat membuat peserta didik tidak nyaman dalam belajar seperti tekanan, paksaan, ataupun ketakutan harus dihindari karena dapat mengganggu jalannya pendidikan dengan baik.

Adapun alasan lain mengapa hal itu terjadi adalah bahwa kebanyakan rakyat indonesia memiliki sentimen agama yang begitu tinggi, terlalu konservatif, dan kurangnya toleransi. Saya tidak asal bilang karena data faktanya memang ada, dan bisa kita temukan di banyak media massa tentang narasi narasi mengenai penistaaan agama, gerakan - gerakan melindungi atau mempertahankan agama tertentu, dan masih banyak lagi.

Sekolah negeri harusnya tidak memaksakan kehendak kebijakan berupa aturan yang dapat memojokkan peserta didik, aturan ada agar bisa menghindari munculnnya kericuhan yang dapat mengganggu belajar peserta didik. peserta didik bisa belajar dengan baik dan nyaman tentunya dengan aturan yang bisa diterima dengan baik oleh peserta didik. Jangan sampai kita miss planning tentang kebijakan aturan yang kita buat. Miss planning disini adalah sebuah gap antara visi misi dan hasil. Dimana kita ingin peserta didik menjadi anak soleh dan soleha tapi disisi lain kita malah membuatnya tertekan sehingga takut, tertekan, bersedih, frustasi bahkan phobia tentang ajaran yang ingin kita tanamkan. Mendidik harus dengan sabar dan tentunya butuh proses yang panjang, gunakan metode - metode yang mampu mencapai dunia peserta didik agar mereka bisa sadar dan menyadari sendiri dengan hati bahwa betapa pentingnya menutup aurat tanpa ada tendensi atau paksaan pihak manapun.

Komentar

Anonim mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Postingan populer dari blog ini

kata-kata bijak dengan rumus fisika

fase menstruasi pada wanita

laporan genetika tentang alel ganda