“Kekeliruan Penerapan Fatwa dalam Penanganan pandemi Covid-19”
Sejak Indonesia mulai di gemparkan dengan pandemi Covid-19, pemerintah sudah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam penanganan pandemi tersebut. Kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah diharapkan mampu meminimalisir korban jiwa dan juga meminimalisir krisis ekonomi akibat dampak pandemi ini. Dampak nyata yang terjadi akibat pandemi ini ialah terjadinya perubahan pada beberapa sektor seperti sektor kesehatan yang sudah merenggut banyak korban, ekonomi mulai tertekan, pendidikan bermasalah karena kurang efektif, kehidupan sosial masyarakat direndung kegelisahan, kekhawatiran ataupun ketakutan, hingga pada sektor keagamaan melalui fatwa MUI tentang larangan bagi umat islam menyelenggarakan sholat berjamaah di wilayah tertentu selama pandemi Covid-19. Dampak pandemi pada sektor keagamaan inilah yang menjadi perhatian penulis karena menuai banyak perhatian dan keprihatinan karena fatwa ataupun aturan yang di tetapkan oleh MUI pusat tidak sejalan dengan penerapan MUI daerah yang penuh konradiksi, banyak masyarakat yang pro dan banyak juga yang bertentangan dengan hal itu.
Majelis Ulama Indonesi (MUI) merupakan lembaga yang menaungi umat islam, mewadahi para ulama, zuama, dan cendikiawan islam untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat islam Indonesia. MUI memiliki salah satu fungsi dan peranan sebagai wadah yang mewakili umat islam dalam hubungan dan konsultasi antar umat beragama dan sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta. Hal inilah yang mendasari mengapa kita sebagai umat islam haruslah patuh dan mematuhi apa yang di fatwakan atau diperintahkan oleh pijakan kita dalam beragama di Indonesia. Namun ketika fatwa yang dikeluarkan olehnya tidak sejalan dengan pemikiran kita atau tidak sesuai dengan kondisi kita, apakah kita termasuk golongan kiri ketika mengabaikan fatwa tersebut? Apakah ketika kita mengabaikan fatwa tersebut kita tergolong fasik? Itulah beberapa pertanyaan-pertanyaan yang merupkan problem besar yang terjadi pada pengalaman hidup penulis dan beberapa masyarakat yang kurang menyepakati fatwa tersebut.
Setelah MUI pusat mengeluarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaran ibadah dalam situasi terjadinya wabah Covid-19 berakibat pada larangan bagi umat islam menyelenggarakan sholat berjamaah di wilayah tertentu selama pandemi Covid-19. Sehingga fatwa tersebut menjadi pokok daripada pembahasan masyarakat tertentu di suatu daerah dari berbagai kalangan, baik itu di kalangan pemerintah daerah, aktivis kampus, ataupun masyarakat biasa. Ada yang setuju dengan fatwa tersebut karena beberapa alasan seperti, menganggap bahwa keputusan MUI merupakan keputusan yang tepat dalam meminimalisir korban atau memutus mata rantai penyebaran Virus Corona melalui peribadaan di masjid-masjid (berjamaah), sepemikiran dengan MUI terhadap fatwa tersebut, memanfaatkan fatwa dengan kondisi dirinya yang memang malas ke masjid, dan mereka-mereka yang memang mengharapkan dengan kondisi umat islam bercerai berai, terpecah belah, tidak satu, sehingga dapat menuju kehancuran. Padahal umat islam bisa bersatu dan kuat salah satu faktornya ialah dengan sholat berjamaah. Sedangkan yang tidak mematuhi fatwa tersebut beralasan karena prinsip pemikiran dan keimanan, mereka-mereka yang beranggapan bahwa di tempat mereka masih kondusif dan aman dari serangan pandemi tersebut.
Permasalahan yang kemudian terjadi ialah fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 pada poin ke 3 (tiga) bagian B yang mengatakan bahwa “dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersamaan, berpelukan, cium tangan), membawa sejadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun” Namun, fatwa tersebut tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Melihat penerapan fatwa yang diterapkan oleh MUI daerah tidak sesuai dengan kondisi yang dimaksud, karena masih banyak wilayah yang termasuk kategori aman dan kondusif dalam keterlaksanaan sholat berjamaah di masjid. Hal plinplan inilah yang dimanfaatkan sebagian orang atau oknum-oknum yang memang mengharapkan hal itu untuk mengkampanyekan fatwa tersebut dengan kalimat “tidak sholat berjamaah salah satu langkah untuk memutus rantai penyebaran Covid-19”. Yahh mentaati fatwa MUI adalah solusi yang sangat tepat ketika wilayah yang kita tempati termasuk zona merah penyebaran pandemi. Tapi, sungguh kasihan ketika kita sebagai umat islam tetap mentaati fatwa MUI dengan kondisi wilayah yang aman-aman saja. Dan sangat miris ketika umat berjamaah diberi sanksi atau di narapidanakan karena tuntutan atau kewajiban yang harus di laksanakan sebagai umat islam yang baik.
Fatwa MUI memang mengundang banyak perdebatan selain problem yang sebelumnya dibahas, juga banyak problem yang mendasar dari kebijakan pemerintah membuat fatwa tersebut bertentangan dengan apa yang semestinya dilakukan, seperti pasar yang masih ramai, mall jadi pilihan, perusahaan swasta masih bekerja, bandara masih berfungsi, dsb. selanjutnya banyak orang-orang yang katanya mentaati fatwa MUI untuk tidak sholat berjamaah di masjid sedangkan masih lalu lalang dalam aktivitas kesehariannya seperti belanja dan menjual di pasar atau mall, bekerja di perusahaannya, bepergian ke suatu tempat, dsb. Padahal aktivitas tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan dunia mereka sedangkan kebutuhan akhirat di abaikan. Sehingga mengorbankan masjid yang tidak difungsikan sebagaimana mestinya serta mereduksi salah satu tuntutan syariat islam dalam beribadah yang dapat mempersatukan umat yaitu, sholat berjamaah di masjid.
Di mana sekarang solidaritas, kesatuan, dan kekuatan umat islam di Indonesia. Kita terpecah oleh sebuah ciptaan yaitu pandemi yang diciptakan oleh sang pencipta Allah SWT dan lupa akan ketakutan kita terhadap yang menciptakan kita dan pandemi tersebut. Artinya banyak orang yang takut sama pandemi Covid-19 daripada Allah SWT. Sangat miriss pencipta di abaikan dan tempat perlindungan di tinggalkan demi sebuah ketidakpastian antara kondisi, fatwa dan pandemi.
Tulisan ini bukanlah propokasi yang dapat melunturkan kepercayaan masyarakat dengan fatwa yang telah dikeluarkan, melainkan sebagai kumpulan pemikiran, ide ataupun gagasan yang bersumber dari penulis berdasarkan pengalaman hidup yang penuh kewaspadaan terhadap kondisi negara sekarang, dan sebagai muslim yang menjadi objek daripada fatwa tersebut. Maka dari itu melalui pemikiran ini, masyarakat bisa mengetahui, memahami, serta mengkritisi hal-hal yang dianggap sesuai atau tidak sesuai, rasional atau tidak rasional dari berbagai aspek, baik itu dari pemerintah, MUI, dsb.
By Budi Setiawan dan Muhammad Aidil
Komentar